Bryan “Cinta Itu Perjuangan”
Bryan, cowok paling keren dan paling cool sesekolahannya bahkan sampai kampung, benar-benar orang yang sombongnya nggak ketolongan! Nyebelin!
Aku tahu dia memang keren dan tajir. Otaknya lumayan pintar, malah termasuk juara kelas. Olahraga? Weits…jangan salah. Dia jago main sepak bola. Oke, aku akui dia memang punya banyak kelebihan yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Tapi yang menjadi nilai minus yaitu sifat playboy nya.
Rata-rata cewek yang pacaran sama dia nggak pernah lebih dari tiga bulan. Yang paling singkat hanya hitungan minggu! Lihat? Tahu sendiri gimana playboynya dia? Dan sekarang dia ‘nembak’ sahabat aku. Gila aja kalau sahabat aku sampai mau terima. Sahabatku namanya Dea.
Masih kuingat dengan jelas kejadian yang paling memalukan dalam hidupku itu. Kejadian sore hari yang benar-benar akan menjadi peristiwa yang mungkin tidak akan pernah terhapus dari ingatanku.
* * *
“De, aku mau kamu jadi pacarku. Kamu mau kan? Aku cinta banget sama kamu, dan aku yakin kamu bener-bener cinta sejati aku. True love aku. Aku yakin cuma kamu satu-satunya cewek yang pasti buat aku bertahan sama satu cewek aja! Aku yakin aku nggak bakal playboy lagi kalau jalan sama kamu. Akankah kamu percaya?”
Pengakuan Bryan yang begitu terang-terangan di tempat nongkrong benar-benar memalukan! Dia mengatakan kalimat seperti itu begitu dia menyandarkan sepeda motor barunya. Dia ini beneran juara nggak sih? Sopan santunnya mana? Apa dia nggak tahu apa dampaknya sama aku dan Dea kalau dia ngomong gitu?
“Gimana, De? Kamu mau?” tanyanya sambil menatap kedua mata Dea dalam dengan posisi berlutut ala pangeran-pangeran dari negeri dongeng.
Dea hanya memandang ke kiri dan kanan, tempat kedua sahabatku duduk. Tapi, tidak ada gunanya. Mereka sedang memandang Bryan dengan begitu seriusnya. Serius dalam arti terpesona ngeliat dia.
Aku menarik nafas yang dalam sambil memejamkan mata. Lalu kutatap mereka berdua setelahnya.
“Aku nggak mau. Kamu kira aku bakal percaya gitu aja sama kamu, setelah kamu pacarin semua cewek sahabat aku. Lalu, apa yang bisa buat aku percaya kamu nggak bakal playboy lagi? Nggak ada jaminan untuk itu kan? Kamu selalu bermulut manis sama semua cewek yang kamu pacarin, dan kamu pikir aku juga bakal jadi seperti mereka, percaya rayuan gombal kamu begitu saja? Aku nggak bakal segampang itu percaya sama kamu.“Jelas Dea.
Oh my God! Bryan nyelonong nyium Dea di depan semua orang tentu saja depan mata ku juga! Dasar kurang ajar! Apanya yang juara kelas?! Sopan santun aja nggak tahu! Tata krama dan norma-norma pun dia tak tahu! Aduh..., sahabatku kenapa kau nggak langsung tampar Bryan saja! Aku bangkit dan mencoba menenangkan keadaan. Tapi Bryan tetap nggak ngegubris omongan aku.
“Cukupkah itu untuk sebuah bukti?” Tanya Bryan setelah melepas tangan Dea yang menggenggam erat.
Aku segera mengambil botol minumku, menenangkan pikiran, kemudian membasuh mukaku segera.
“Nggak bakal. It will never be! Kamu kira aku bakal percaya hanya dengan kamu. Nyium aku? Mungkin saja semua cewek juga sudah kamu perlakukan begitu, malah mungkin lebih!”kata Dea yang begitu lantang terdengar olehku.
Aku langsung menarik tangan Dea segera kuajak pulang kerumahnya, melewatinya begitu saja. Teman-teman yang berdiri di belakangnya semua terperangah melihatku berlari pulang. So what? Emangnya aku bakal peduli? Aku nggak peduli! Yang aku tahu, sekarang aku harus mengatar Dea pulang dan segera menyuruh Dea istirahat menenangkan pikiran.
* * *
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian memalukan itu. Namun, tidak ada tanda-tanda Bryan akan menyerah untuk berusaha memacari Dea. Sebelum berangkat sekolah, bahkan sebelum Dea membuka pintu depan rumahnya, dia selalu sudah duduk menunggu di seberang jalan dengan motor lakinya. Tentu saja, teman-teman yang lewat apa lagi tetangga tidak ada yang mengusirnya. Mana mungkin ada yang mau!
Setiap pulang sekolah, dia juga selalu menawarkan diri untuk mengantarkan pulang dengan motornya. Maklum, Dea memang pulang sekolah naik angkot. Rumahnya tidak berada begitu jauh dari sekolah.
“Nggak mungkin nggak ada yang lewat! Pasti ada yang aneh! Mungkinkah ada kecelakaan yang menghambat jalan menuju sekolah? Argh… Sial!”Gumam Dea.
Saat Dea memutuskan untuk berjalan kaki untuk pulang, Bryan segera menarik tangannya, menahanku pergi.
“Aku antar kamu pulang. Bahaya kalau cewek secantik dan semanis kamu pulang sendiri.”
“Ogah! Gengsi!”Terang dea.
Tapi, dia tetap memaksa. Bahkan ketika Dea tetap ngotot dengan niatnya, Bryan tetap mengikutinya. Dia mengendarai motor begitu pelan sehingga bisa mengimbangi langkah Dea. Dia malah mematikan mesin motornya dan turun dari motornya. Dia berdiri di sebelah motornya dan berjalan sambil mendorong motornya agar bisa mengimbangi langkah Dea.
Sampai tengah jalan, dia terlihat begitu kelelahan. Wajar memang, sebab dia berjalan sambil mendorong motornya. Belum lagi ditambah teriknya matahari yang saat ini nggak bisa diajak kompromi. Sampai tengah jalan, Dea sengaja singgah ke warteg yang ada di pinggir jalan. Setidaknya agar dia bisa beristirahat dulu. Dea ke warteg hanya agar dia bisa beristirahat sejenak.
Ketika Dea lihat lelahnya sudah mulai hilang, Dea segera berdiri dan menunggunya di motornya.
“Ayo cepat! Aku mau pulang!” seru Dea tak sabaran karena dia hanya berdiri bengong sekitar setengah meter dari motornya.
“Rumah kamu di mana?” tanyanya yang sekarang sudah duduk di motornya.
Dea menjelaskan dimana letak rumahnya secara rinci. Bryan mengangguk dan menarik kedua tangan Dea, melingkarkan tangan ke tubuhnya. Saat Dea berusaha melepas tangannya, Bryan malah menahan dengan sebelah tangan.
“Sial! Mentang-mentang cowok, jadi bisa seenaknya karena tenaganya lebih gede. Curang!”Dea dalam hati.
“Kalau kamu nggak pegangan, aku nggak jamin kamu selamat sampai rumah. Jangan kamu kira aku nggak bakal ngebut, De. Itu bukan aku banget. Aku bukan tipe cowok yang tahan melaju pelan pakai motor.”
Biarpun dia memakai helm dan kata-katanya tidak begitu keras, Dea masih bisa mendengarnya. Karena wajahnya berada tepat di belakang Bryan.
Segera dia hidupkan motornya dan melaju kencang. Cepat banget, jantung Dea sampai deg-degan. Karena takut tentunya.
Begitu sampai di depan rumah, Dea segera turun dari motor. Air mata sudah ada di pelupuk matanya, hanya saja belum mengalir jatuh menuruni kedua pipinya.
“Lho, kamu kok nangis, sih, De?” tanyanya panik.
Dengan cepat diusaplah air matanya.Tentu saja Dea tak ingin terlihat seperti itu oleh Bryan. Tapi, air matanya tak bisa diajak kompromi. Air matanya malah mengalir tambah derasnya.
“Kamu gila, ya? Kamu sadar nggak, sih, kalau kamu tadi ngebutnya sudah kayak orang gila! Orang yang sudah nggak waras! Kamu sadar nggak yang tadi ada di belakang kamu itu seorang cewek! Kamu nggak mikir ya, Yan?”
Amarah Dea keluar semua. Kata makia keluar dari mulutnya. Sampai akhirnya Dea tak bisa lagi melanjutkan kalimat-kalimatnya. Bryan menghentikan. Dengan cara yang paling ampuh di dunia. Dia mencium Dea untuk kedua kalinya!
Setelah beberapa detik terlewati. Segera Dea menampar pipinya. Namun, tamparan itu tidak akan terasa sakit baginya. Sebab, tenaga Dea tiba-tiba melayang entah kemana semua.
“Aku belum gila, De. Aku tahu yang duduk di belakang aku itu seorang cewek. Seorang cewek yang aku sayangi, aku cintai.”
Dea hanya memalingkan wajahnya dan segera berbalik dan masuk ke rumah. Dea tinggalkan Bryan yang masih saja menatap ke arah pintu rumah. Dea tak peduli.
* * *
Beberapa hari sejak kejadian itu, dia tak lagi mendatangi Dea. Sepertinya dia sudah menyerah.
“Baguslah,” gumam Dea pelan. Tapi, entah mengapa, Dea merasa ada perasaan aneh yang menghampiri hatinya. Ada sedikit perasaan tak rela dan kehilangan.
Dea mencoba jalani hari-hari seperti biasa. Seperti saat Bryan belum masuk ke dalam kehidupannya. Tapi, perasaan kehilangan itu masih tetap ada. Ke mana pun kakinya melangkah.
Dea berusaha untuk tetap menjalani semuanya seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hari ini, Dea bolos lagi menuju ke perpustakaan, mengambil buku yang dulu belum sempat selesai dibaca dan duduk di tempat yang biasa. Tempat di mana Bryan untuk pertama kalinya tersenyum padanya. Tersenyum dengan begitu lembut.
Tanpa sadar, setetes air mata menuruni sebelah pipinya yang kemudian mulai membanjiri kedua pipi. Tangisnya tak mau berhenti, meski seberapa keras pun aku berusaha untuk menghentikannya.
“Apa? Apa yang salah denganku? Apa yang terjadi padaku? Apa aku sudah jatuh cinta padanya? Apa aku sudah terlanjur memberikan hatiku ini padanya?”
Tiba-tiba terdengar ada langkah yang mulai mendekati tempat Dea sekarang, segeralah Dea berusaha menghentikan tangisnya.
“B-Br-Bryan? Dia? Seorang Bryan datang ke perpustakaan? Saat jam pelajaran pula” gumamnya tak percaya.
“Wajah kamu memang tetap cantik walaupun kamu sedang menangis, De. Tapi senyum kamu tetap yang paling indah. Please, De. Jangan nangis lagi. Aku nggak tahan ngeliat kamu nangis. Aku juga menderita kalau melihat kamu nangis.”
“Ya sudah, pergi aja biar kamu nggak ngeliat aku nangis,” jawab Dea ketus.
“Nggak ada gunanya, De. Di mana pun aku berada, kalau kamu lagi menangis, aku pasti menderita juga. Anytime. Anywhere.”
“Gombal.”
“Terserah kamu mau percaya atau nggak. Setidaknya, aku sudah selalu berusaha untuk jujur di depan kamu, De. Hanya di depan kamu. Aku belum pernah kayak gini sama cewek lain sebelumnya. Baru sama kamu seorang, dan aku rasa hanya akan begini sama kamu
Entah apa yang terjadi pada kelenjar air mata Dea. Dea yang semula kuat menahan tangis, sekarang begitu cengeng hanya dengan kata-kata gombal Bryan.
“Kamu kenapa nangis, sih, De? Cerita sama aku, barangkali tangis kamu bakal berhenti.” Bryan sudah duduk di sebelah Dea dan mengusap sebelah pipi Dea dengan ibu jarinya.
“Ak-aku juga tak tahu, sejak kamu nggak pernah ngedatengin aku lagi, ada perasaan kehilangan di hati aku. Aku pikir lama-lama perasaan itu bakal menghilang bgitu saja, tapi sampai sekarang perasaan itu nggak hilang-hilang juga,” Kata Dea panjang lebar sambil menangis.
“Itu masalah yang simpel banget, De. Itu tandanya kamu sayang sama aku, kamu cinta sama aku. Kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku. Semua perasaan kamu itu sama kayak perasaan aku ke kamu.” Dia membelai kepala Dea pelan.
“Tapi, kamu pasti bakal mainin aku juga seperti cewek-cewek kamu semua. Kamu nggak serius sama aku. Kamu Cuma mau mainin aku.”
“Kamu salah besar, De. Aku cinta sama kamu. Aku bener-bener cinta sama kamu. Sudah lama banget! Cuma, susah nyari info tentang kamu. Aku usaha keras banget cuma buat nyari tahu di mana kelas kamu.”
Dea hanya bisa melongo. Tak menyangka dia berbuat begitu. Tapi, Dea melarang hatinya untuk percaya begitu saja padanya. Dan, seolah dapat membaca pikiran Dea, dia menjawab,
“Sebenarnya ceritanya panjang banget, tapi aku rasa kalau aku nggak cerita semuanya kamu nggak bakal percaya sama aku, ya kan?”
Dea mengangguk pelan. Dia menarik nafas panjang, mengubah posisi duduknya menghadap meja, Bryan mulai bercerita panjang lebar hingga beberapa menit.
Dan akhirnya Bryan minta maaf atas kejadian memalukan yang telah terjadi.
“Aku minta maaf, De. Maaf banget! Yang pertama kali itu karena aku sudah nggak tahan banget ngeliat kamu di depan aku terus. Kamu nggak pernah ada di depan aku selama itu sebelumnya, juga sebagai bukti yang kamu minta. Dan, akhirnya aku nggak berhasil nahan diri aku untuk nyium cewek yang aku cintai banget. Yang kedua karena aku bener-bener nggak tahan ngeliat kamu nangis, De. Seperti yang aku bilang tadi. Kamu mau maafin aku kan?”
Setelah menimbang-nimbang, Dea mengangguk kecil. Entah apa yang mendorong kepalanya untuk mengangguk saat itu. Dea sendiri pun tak mengerti. Akhir-akhir ini tubuhnya tidak pernah mau mendengarkan perintah saraf otaknya.
“Makasih banget, De. Aku nggak mau kamu benci sama aku. Ngeliat kamu nangis emang buat aku menderita, De. Tapi, kalau melihat kamu yang benci sama aku, aku lebih baik mati, De. Aku nggak sanggup.”
“So, gimana, De? Kamu mau nerima aku? Nerima cinta aku ke kamu?” tanyanya yang sudah membetulkan letak duduknya dan menghadap ke arah Dea. Dia menatap langsung kedua mata Dea. Saat mau memalingkan wajah, dia segera menahannya dengan sebelah tangan.
“Kalau kamu bener-bener nggak mau jadi pacarku, aku yakin kamu bisa ngejawab itu tanpa memalingkan tatapan mata kamu dari aku.”
Oh my God!! Dea tak bisa apa-apa lagi, sebab tangannya tetap menahan wajah Dea. Dea menatap matanya takut-takut. Biarpun matanya memandang Dea langsung, matanya tetap terlihat begitu lembut saat menatap.
“A-ak-aku… aku… ng-nggak b-bi-bisa, Yan. A-aku nggak bis-bisa.“ Bryan menaruh jari telunjukknya di bibir Dea, menyuruh Dea diam.
Hening.
Diam menyelimuti.
“Alright,” kata Bryan dengan begitu putus asa sebelum Dea menyelesaikan kalimatnya. “Aku juga nggak bisa maksa aku, tapi akhirnya kamu bisa ngebiarin aku tetep berada di dekat kamu kan? Ada di sekitar kamu?”
“Heh! Kalimat aku belum selesai, kamu udah main motong aja! Ya udah!” Dea pura-pura ngambek.
“Lho? Tapi intinya kan kamu nolak aku juga kan?”
“Aku nggak bisa nolak kamu, Yan. Aku sadar, sepertinya kamu udah berhasil ngebuat aku jatuh cinta sama kamu. Tapi, karena kamu udah berasumsi lain, apa daya. Aku cuek aja, deh!” Dea segera berdiri untuk melangkah pergi tapi dia langsung menahan dea. Dia meraih pergelangan tangannya.
“Sorry, tapi aku bener-bener nggak bisa nahan diri,” ucapnya pelan di telingaku. Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya.
Well, Dea sudah menemukan cintanya. Sekarang Dea benar-benar bahagia. Kini seorang sahabat telah hilang dan telah ada yang memiliki.
*Sekian*
Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!
Comments for blogger! brought to you by raden, Ingin Kotak Komentar seperti ini? KLIK DISINI!?
0 comments:
Post a Comment